Partisipasi Politik Perempuan Melalui Keterwakilannya dalam Lembaga Legislatif

ABSTRAK

Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk melihat sejauh mana keterwakilan perempuan dalam legislatif, faktor penghalang dan pendukung yang menyertai keterwakilan mereka dalam legislatif, serta untuk melihat sejauh mana upaya pemerintah dan peran parpol dalam mendorong keterwakilan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam proses-proses politik seperti keterwakilannya dalam legislatif merupakan bentuk dari kesadaran kekuatan politik perempuan.  Keterlibatan perempuan dalam proses politik di Indonesia masih sangat minim. Minimnya keterwakilan perempuan dalam politik disebabkan oleh kondisi struktural dan kultural bangsa Indonesia. Tingginya budaya patriarki yang  melekat dalam budaya Indonesia menjadi penghalang keterwakilan perempuan dalam legislatif. Budaya ini memandang perempuan lemah dan lebih memposisikan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, adanya subordinasi gender juga menjadi penghalang bagi keterwakilan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.Menghadapi hal demikian pemerintah sebagai pemegang kebijakan telah menetapkan sejumlah undang-undang untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam legislatif. UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 10 Tahun 2008, merupakan UU yang ditetapkan pemerintah untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam legislatif. Dalam kedua undang-undang tersebut, perempuan memiliki kuota sebesar 30% untuk turut serta dalam legislatif. Sedangkan parpol berperan dalam mengakomodir keterwakilan perempuan adalam legislatif. Melalui ketetapan tersebut, perempuan dapat turut berpartisipasi dalam legislatif, sejajar dengan laki-laki.

kata kunci:

perempuan ,partisipasi,  politik, gender, lembaga legislatif.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peta demografis menunjukkan, jumlah penduduk perempuan di Indonesia lebih banyak dari laki-laki, demikian pula jumlah pemilih perempuan. Namun, dalam proses politik jumlah itu bukanlah jaminan terhadap keterwakilan perempuan secara signifikan.

Di Indonesia, keterlibatan perempuan dalam proses politik masih sangat rendah. Rendahnya keterlibatan perempuan secara struktural dapat dilihat dari dua hal. Pertama, minimnya jumlah keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan. Laporan CETRO, Center for Electoral Reform, tentang data dan fakta keterwakilan perempuan Indonesia di dalam lembaga legislatif 1999-2001 menunjukkan bahwa perempuan hanya terwakili 9% di DPR atau 45 orang dari 500 orang anggota DPR RI. Disamping itu, masih banyak kebijakan-kebijakan publik yang mengabaikan hak-hak perempuan sebagai warga negara. Tidak hanya persoalan struktural, keterlibatan perempuan dalam politik juga mangalami kendala kultural. Kendala ini ditunjukkan dari pandangan yang masih menganggap perempuan sebagai kaum kedua.

Berdasarkan uraian di atas, penulis, dalam makalah ini akan mencoba membahas Partisipasi Politik Perempuan Melalui Keterwakilannya dalam Lembaga Legislatif.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian mengenai keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif?
  2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan penghalang keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif?
  3. Upaya apakah yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif dan bagaimana peran parpol terhadap keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif?

1.3 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang bagaimana keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk memberi gambaran mengenai faktor pendukung dan penghalang keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif serta memberi gambaran bagaimana peran pemerintah dan parpol dalam mengakomodir keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif.

1.4 Manfaat

Makalah ini disusun sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak terkait (stakeholders) dalam merumuskan kebijakan terutama yang berkenaan dengan partisipasi kaum perempuan dalam pembangunan khususnya di bidang politik. Selain itu untuk memberi informasi kepada masyarakat sejauh mana parpol menyerap aspirasi kaum perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.

BAB II

KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DALAM LEGISLATIF

2.1 Perempuan dan Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam pengertian umum, partisipasi adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik. Kegiatan ini dapat berupa pemberian suara dalam pemilu, menjadi anggota suatu partai dan lain sebagainya. Herbert McClosky mengatakan bahwa:

Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum.[1]

Secara umum dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keterlibatan warga negara dalam ikut serta mempengaruhi pengambilan keputusan, dan mempengaruhi kehidupan bangsa relatif kecil.

Di negara-negara yang proses modernisasinya secara umum telah berjalan dengan baik, biasanya tingkat partisipasi warga negara juga meningkat. Dapat dikatakan bahwa modernisasi menghasilkan partisipasi yang meluas.

Partisipasi perempuan Indonesia dalam politik, bukanlah merupakan hal yang baru lagi. Perempuan telah turut serta secara aktif dalam pergerakan kebangsaan bahkan sebelum datangnya masa kolonialisme.

Salah satu implementasi nyata bagi perempuan Indonesia dalam bidang politik adalah pemilu 1955 dimana perempuan yang memenuhi persyaratan untuk dipilih dan memilih telah ikut serta dalam kegiatan politik yang sangat berarti itu. Sejak saat itu partisipasi perempuan dalam berbagai lembaga pemerintahan dari yang rendah sampai yang tinggi serta berkecimpungnya mereka dalam berbagai organisasi kemasyarakatan dan politik tidak lagi merupakan hal yang aneh (Isbodroini, 1993).

2.2 Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Legislatif

Salah satu wujud nyata dari tumbuhnya kesadaran kekuatan politik perempuan ditandai dengan keterlibatan secara aktif perempuan dalam proses-proses politik. Proses-proses politik tersebut dapat ditempuh melalui keterwakilan perempuan dalam politik.

Semaraknya semangat berpolitik menjelang Pemilu 2009, yang sebentar lagi akan terlaksana mengundang semua pihak untuk turut aktif didalamnya. Tak terkecuali perempuan yang selama ini masih senantiasa terkekang dalam budaya patriarki yang melekat dalam budaya Indonesia.

Keterwakilan perempuan dalam politik secara nyata tidak saja didasarkan pada keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga kontribusinya untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Keterwakilan perempuan dalam politik didasarkan pada UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD serta UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang berisi mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

BAB III

FAKTOR PENGHALANG DAN PENDORONG KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEGISLATIF

3.1 Faktor Penghalang Keterwakilan Perempuan dalam Lembaga Legislatif

Minimnya keterwakilan perempuan di dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan di Indonesia menjadi persoalan ketika transisi menuju demokrasi menuntut kesetaraan dan keadilan perempuan. Kondisi sosiokultur bangsa yang pekat dengan budaya patriarki menjadi salah satu faktor penghalang untuk aktualisasi perempuan sebagai pengambil kebijakan pembangunan bangsa ini.

Budaya patriarki menggambarkan tingginya dominasi laki-laki yang tidak memberikan kesampatan pada perempuan. Budaya ini menganggap perempuan lemah dan lebih memposisikan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dengan kondisi seperti ini, maka kemampuan finansial kaum perempuan juga menjadi terbatas. Padahal keterwakilan perempuan dalam legislatif diyakini mampu mengubah dunia politik yang sarat konflik menjadi lebih damai.

Faktor lain yang menjadi penghalang keterwakilan perempuan adalah adanya subordinasi gender.[2] Subordinasi terhadap perempuan barmakna bahwa perempuan tidak memiliki peluang untuk mengambil keputusan bahkan yang menyangkut dirinya. Perempuan diharuskan tunduk pada keputusan yang diambil oleh laki-laki. Sehingga ruang gerak mereka menjadi sangat konvensional dan seringkali dipandang tidak layak menjadi  politisi.

3.2 Faktor Pendorong Keterwakilan Perempuan dalam Legislatif

Sosialisasi politik memegang peranan penting terhadap partisipasi perempuan dalam politik. Fred I. Greenstein mendefinisikan sosialisasi politik sebagai:

“…all political learning, formal and informal, deliberate at every stage of the life circle, including           not only explicitly political learning but also nominally non-political learning that effects political             behavior, such as the learning of political relevant personality characteristics.”[3]

Secara umum, sosialisasi politik didefinisikan sebagai suatu proses tertanamnya nilai-nilai politik secara terus-menerus dan yang pada perkembangannya akan menciptakan orientasi politik seseorang yang akan mendasari tindak tanduk seseorang (Isbodroini Suyanto, 1995).

Dalam sosialisasi politik terdapat beberapa agen yang berperan sentral dalam studi sosialisasi politik, seperti keluarga, sekolah dan kelompok. Hasil sosialisasi politik dari berbagai agen tersebut akan membentuk perilaku politik. Melalui sosialisasi politik, perempuan akan terdorong untuk melibatkan diri secara langsung dalam politik.

BAB IV

UPAYA PEMERINTAH DAN PERAN PARPOL TERHADAP KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEGISLATIF

4.1 Upaya Pemerintah Terhadap Keterwakilan Perempuan dalam Legislatif

Upaya affirmative action adalah upaya yang dilakukan pemerintah dalam mendorong keterwakilan perempuan dalam legislatif. Beberapa peraturan perundang-undangan pun telah disusun pemerintah demi mewujudkan keterwakilan perempuan dalam legislatif. Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilu  Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam legislatif, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam legislatif sebagaimana yang ditetapkan pemerintah merupakan wujud modal dasar kepemimpinan dan pengalaman organisasi bagi perempuan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

4.2 Partai Politik Sebagai Saluran Partisipasi Politik Perempuan

Sebagai saluran aspirasi dan partisipasi politik, parpol secara serius dan berkelanjutan berperan dalam melakukan rekruitmen jabatan politik. Melalui rekruitmen jabatan politik, perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam politik. Partai politik bertanggung jawab dalam menempatkan perempuan pada posisi dan tanggung jawab organisatoris yang signifikan, selain mempersiapkan dan menempatkan perempuan sebagai caleg yang setara dengan caleg laki-laki.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Keterwakilan perempuan secara aktif dalam legislatif, merupakan salah satu wujud nyata dari tumbuhnya keasadaran kekuatan politik perempuan. Keterlibatan perempuan secara nyata tidak saja didasarkan pada keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga kontribusinya untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Kondisi sosiokultur yang pekat dengan budaya patriarkinya menjadi salah satu faktor penghalang untuk aktualisasi perempuan sebagai pengambil kebijakan bangsa ini. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam legislatif. Melalui UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 10 Tahun 2008, keterwakilan perempuan menjadi syarat wajib bagi keikutsertaan parpol dalam pemilu. Dimana tiap parpol wajib memenuhi kuota 30% perempuan dalam politik.

Peran parpol sendiri terhadap keterwakilan perempuan dalam diwujudkan melalui rekruitmen jabatan politik, dimana perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk ikut serta berpartisipasi dalam politik.

5.2 Saran

  1. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harus mengoptimalkan kinerjanya dalam mendorong perempuan untuk turut aktif dalam legislatif.
  2. Parpol sebagai penyerap aspirasi politik harus menjalankan ketetapan pemerintah sebagaimana terdapat dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 dan UU Nomor 10 Tahun 2008, mengenai keterwakilan 30% kaum perempuan dalam politik.
  3. Perempuan harus berani dan memiliki kesadaran politik untuk tidak tabu berperan dan aktualisasi diri dalam politik.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam 1981, Partisipasi dan Partai Politik, PT Gramedia: Jakarta.

Sastroatmodjo, Sudijono 1995, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press: Semarang.

Subadio, Maria Ulfah dan T.O. Ihromi 1978, Peranan dan Kedudukan Wanita          Indonesia, Gajah Mada University Press: Yogyakarta.

Subiyantoro, E.B. 2002, “Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia” dalam Suara          Hak-Hak Perempuan di Radio Jurnal Perempuan, Penyunting: Maria             Amiruddin, Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta.

Subiyantoro, E.B. 2002, “Kaukus Perempuan Politik” dalam Suara Hak-Hak   Perempuan di Radio Jurnal Perempuan, Penyunting: Maria Amiruddin,   Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta.

Suyanto, Isbodroini 1995,”Peranan Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik           Perempuan” dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan, Penyunting:       T.O. Ihromi, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Tutik, T.T. 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen            UUD 1945, Cerdas Pustaka: Jakarta.

Wagemann, M.L.E. 1996, ”Antara Kemarin dan Hari Esok: Wanita Indonesia dan        Perubahan Zaman” dalam Perempuan Indonesia Dulu dan Kini,             Penyunting: Mayling Oey-Gardir, Mildred Wagemann, Evelyn Suleeman             dan Sulastri, PT Gramedia Pustaka Umum: Jakarta.

Karam, Azza 2003, “ Partisipasi Politik Perempuan: Tinjauan Strategi dan         Kecendrungan” dalam Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, UNDP.


[1] Herbert McClosky, “Political Participation”, dalam Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1981) hlm.1.

[2] Subordinasi gender merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan dimana perempuan berada dalam posisi kedua setelah kaum laki-laki.

[3]Fred I. Greenstein, “Political Socialization”, dalam International Encyclopedia of the Social Science,vol. 14 (New York: The Macmillan, co & The Free Press, 1972), hlm. 551, dalam Isbodroini Suyanto,”Peranan Sosialisasi Politik terhadap Partisipasi Politik Perempuan”, dalam Kajian Pembangunan Wanita (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 489.

Tinggalkan komentar